Ketika Nalar Tak Berjalan
Cuci otak sebenarnya merupakan istilah penyederhanaan dari upaya memengaruhi pikiran seseorang hingga ia mau dan mampu melakukan tindakan di luar kehendaknya. Cuci otak bukan istilah klinis kesehatan.
Proses memengaruhi pikiran dapat bermakna positif, seperti dalam proses pembelajaran, bisa pula bermakna negatif, seperti yang dialami pelaku teroris.
”Teknik memengaruhi pikiran dapat dilakukan dengan hipnotis, penciptaan kondisi seseorang agar mudah dipengaruhi, sugesti, maupun lewat proses pembelajaran,” kata ahli psikologi motivasi dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Bagus Riyono.
Untuk dapat dipengaruhi, seseorang harus dibuat tidak sadar dan tidak mampu mengendalikan diri. Kondisi ini dapat dicapai dengan membuat pikiran seseorang menjadi sangat capek.
Keletihan otak dapat terjadi lewat pemberian aktivitas fisik yang melelahkan maupun pemberian beban pikiran atau tekanan yang berat terus menerus. ”Saat pikiran capek seseorang mudah dipengaruhi atau diindoktrinasi,” katanya.
Proses indoktrinasi dapat dilakukan melalui ceramah, pidato, maupun pembicaraan yang memberi makna atas hal yang diyakini serta memaknai keadaan dan peran dirinya. Indoktrinasi membuat orang yang semula tak memiliki ikatan kuat dengan keyakinannya menjadi memiliki keteguhan luar biasa. Akibatnya, ia mau melakukan apa pun untuk menjalankan keyakinan itu, termasuk meninggalkan keluarga dan melukai orang lain.
Indoktrinasi juga dapat dilakukan pada seseorang yang semula sudah memiliki keyakinan cenderung ekstrem. Untuk kelompok ini, proses indoktrinasi menjadi lebih mudah dilakukan.
Dari kacamata orang luar, seseorang yang berada dalam pengaruh orang lain akan terlihat seperti orang yang sadar, tetapi mengantuk, bingung, atau linglung. Dalam kondisi itu, otak orang akan memancarkan gelombang alfa.
Proses memengaruhi pikiran orang dapat dilakukan kepada siapa pun. Namun, tidak akan berhasil jika dilakukan pada orang yang sepenuhnya sadar, tahu apa yang dimaui dan tidak disukai, serta memegang kendali penuh atas dirinya. Saat sadar, penuh otak memencarkan gelombang beta.
Mudah tidaknya seseorang dipengaruhi, menurut Bagus, bukan disebabkan oleh lelahnya otak. Saat pemberian pengaruh, seseorang dapat menolak atau memikirkan kembali apa yang disampaikan orang lain.
Kemampuan untuk memikirkan ulang pendapat orang lain sangat bergantung pada proses pendidikan seseorang sebelumnya. Hal itu akan memengaruhi struktur keyakinan seseorang, cara seseorang melogika keyakinannya, maupun cara dia memaknai tindakannya.
”Seseorang yang memiliki paham monolistik dengan satu keyakinan tunggal, tidak terbuka dengan keyakinan, dan cara pikir lain sangat potensial untuk dimanfaatkan,” kata Bagus.
Struktur keyakinan inilah yang membuat tindakan teror atau bom bunuh diri dapat dilakukan oleh siapa pun. Motifnya pun tidak hanya hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan agama, tetapi dapat juga motif politik, ekonomi, hingga nasionalisme membela negara.
Menurut Bagus, dalam sejumlah kasus bom bunuh diri dengan motif keyakinan agama, struktur keyakinan pelaku umumnya menganggap diri mereka sebagai ”kepanjangan tangan” Tuhan dan harus melaksanakan ”tugas” dari Tuhan. Hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman dan penghayatan mendalam terhadap suatu hal, pemikiran yang melompat-lompat (tak runut), dan kurang sabar dalam menyelesaikan masalah.
”Jenis keyakinan tidak menentukan sikap ekstremitas seseorang, melainkan struktur keyakinannya, bagaimana ia memaknai perannya dalam membela keyakinannya,” kata dia.
Organ otak
Guru Besar Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Rumah Sakit Sardjito Samekto Wibowo mengatakan, mudah tidaknya seseorang dipengaruhi orang lain tidak bergantung pada kondisi organ otak seseorang karena bentuk anatomi otak semua orang sama. Mudah tidaknya seseorang dipengaruhi bergantung pada kondisi jiwanya.
Meskipun demikian, proses cuci otak akan berimbas pada perubahan komposisi kimia dan mengganggu fungsi otak. Komposisi ini dapat dijadikan indikator status kejiwaan seseorang.
Setelah cuci otak, memori jangka pendek seseorang akan hilang. Adapun hilangnya memori jangka panjang sangat bergantung pada besar tidaknya unsur baru yang dimasukkan.
Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Irmansyah menambahkan, proses cuci otak tidak merusak organ otak seseorang.
Mudah tidaknya seseorang dipengaruhi sangat bergantung kepada kuat tidaknya kepribadian yang dimiliki. Orang yang tidak mandiri, sangat bergantung kepada orang lain, serta memiliki dendam atau kebencian terhadap sesuatu juga akan menjadi lebih mudah dipengaruhi.
Menurut Samekto, cuci otak merupakan persoalan psikologis. Karena itu, proses penyembuhannya tidak bisa dilakukan dengan obat-obatan, tetapi melalui konseling psikologis.
Pendidikan
Menurut Bagus, untuk membangun pribadi yang tangguh dibutuhkan proses pendidikan yang baik. Pendidikan yang mencerahkan dan tanpa tekanan, keteladanan, hingga sistem komunikasi kepada mereka yang tak bisa menenggang perbedaan untuk menata ulang struktur keyakinannya.
Pendidikan dalam keluarga akan memengaruhi cara pandang seseorang, Mereka yang terbiasa mendapat didikan keras, baik fisik maupun emosi, cenderung menjadi pribadi yang keras dan berpikiran monolistik.
Pendidikan yang bersifat dogmatif tanpa mengenalkan proses memberi alasan (reasoning) atas setiap yang dilakukan cenderung membuat orang menjadi tertutup dengan pendapat lain. Ketidakmampuan memberi alasan itu membuat nalar seseorang tidak berjalan dan emosinya menguat. ”Saat emosi menguat, logikanya beku dan melemah,” kata Bagus.
Komunikasi harus dilakukan dengan seimbang tanpa tekanan. Tekanan yang dilakukan kepada mereka yang memiliki struktur keyakinan keras justru akan semakin menguatkan struktur keyakinan mereka. Hal itu bahkan bisa memunculkan simpati dan dukungan dari mereka yang sebelumnya justru menolak struktur keyakinan yang keras.
Sumber oleh : M Zaid Wahyudi ( Kompas )