Rabu, 23 Februari 2011

KISAH SUKSES HELMUT WERNER MERCEDES BENZ


 HELMUT WERNER
MEMBANGUN BRAND MERCEDES BENZ

Penampilan dan gayanya “tidak mencerminkan seorang pemimpin bisnis jempolan seperti halnya Edzard Reuter. Kewiraswastaannya tidak begitu cemerlang seperti Werner Niefer. Lagi pula ia tidak mempunyai konsep strategis yang cerdik dan unggul seperti yang dimiliki Eberhard von Kuenheim atau Carl Horst Hahn. Kalau begitu, apa sebenarnya kelebihan Helmut Werner.
Tatkala ia memulai kariernya di Uniroyal, ia terus menanjak sampai memegang jabatan direktur pelaksana untuk wilayah Eropa. Kemudian ia menjadi anggota direksi termuda pada produsen ban Contri dan beberapa tahun kemudian menduduki jabatan direktur utama pada perusahaan itu. Setelah itu, pada musim gugur 1987 ia diangkat untuk mengepalai dewan pengawas Daimler Benz AG di bidang kendaraan serba guna, sekaligus menjadi calon kuat pengganti direktur utama perusahaan mobil bergengsi itu, Werner Niefer.
Selain itu, Helmut Werner bersama Juergen Schrempp yang berpeluang pula untuk menduduki jabatan presiden direktur perusahaan holding Mercedes yang kini dipegang Edzard Reuter. Helmut Werner mendapat sorotan dari segala penjuru. Penampilan Helmut Werner yang tinggi ramping dan elegan dalam berbusana memberi kesan menarik. Wajahnya masih nampak muda dan pandangan matanya yang berwarna coklat kehitaman itu berkesan bersahabat. “Saya ini memang agar mujur,” kata ayah dua putra yang menjelang dewasa. Kata-kata lain yang sering ia ucapkan, “Hidup ini memang indah dan mempesonakan”.
Sikap mental yang ceria seperti itu hanya dimiliki oleh salah seorang asal Reionland, memang tepat. Helmut lahir di Koeln kemudian dibesarkan di Sauerlan. Pendidikan SMA-nya ia selesaikan di Frankfurt dan Bonn. Di Koeln itu ia mempelajari ekonomi perusahaan.
Helmut Werner yang memimpin 90 ribu karyawan, tidak menguasai orang-orang itu, melainkan mendorong mereka. Sebagai atasan, ia diduga tidak mengetahui bagaimana cara-cara mempengaruhi anak buahnya. Ia orang yang sanggup bekerja dengan ragu dan bukan tipe manusia yang gemar bertarung sendiri. Di situlah letak keunggulan dan bakatnya. Ia sendiri menyebut hal itu sebagai temperatem yang berimbang atau sifat pembawa rezeki. Edzard Reuter sendiri merekomendasi dia sebagai orang yang sanggup menggerakkan massa yang dinilai lebih penting daripada kesanggupan untuk melakukan segala sesuatunya seorang diri. Jelas sekali bahwa sikap, sifat, dan bakat yang ada pada Helmut Werner berasal dari pengalaman yang diperoloeh dari rumah orang tuanya. Dalam keluarga itu, Helmut berperan sebagai Primus Inter Pares atau orang nomor satu di antara lima bersaudara. Adik-adiknya ingin diperlakukan sebagai anak sulung, hal itu membahayakan posisi Helmut dalam keluarga itu. Dengan demikian, ia harus setiap kali menegaskan posisinya sebagai anak sulung hal ini membahayakan posisi Helmut dalam keluarga. Dengan demikian, ia harus setiap kali menegaskan posisinya sebagai sulung dalam persaingan dengan adik-adiknya sendiri. Dalam hal ini berlaku hukum, yang terkuat adalah raja, suatu posisi yang ia harus berulang kali buktikan. Bagi Helmut Werner untuk membuktikan keunggulannya. Helmut sendiri mengaku dirinya bukan seorang pelajar yang baik. Itu yang sangat memprihatinkan ayahnya yang direktur Bank Sparkasse. Ia lebih suka membuktikan keunggulannya bukan di sekolah, melainkan di lapangan bola; sebagai perenang, pemain bola air, menyelam, dan ski atau balap sepeda.
Menurut Helmut Werner, “Saya kesurupan untuk bersaing dan bahwa rahasia keberhasilan dalam kepemimpinan itu terletak pada kemampuannya, menyiapkan orang lain siap melakukan sesuatu. “Dengan demikian, ia sendiri tidak perlu melakukan sesuatu apa pun. Efisiensi yangdia kembangkan adalah pada dualisme itu, termasuk memanfaatkan keberhasilan staf pegawai serta memupuk hubungan persaudaraan dan memberi peluang penembangan diri pada pegawainya. Tetapi, semua itu masih belum memadai. Karena di balik itu semua masih ada ambisi, disiplin, serta kerja keras bukan untuk sekedar menang, melainkan harus menang.
Pada awalnya Helmut Werner ingin menjadi peneliti ekonomi, tetapi cita-cita itu dibatalkannya setelah ia diterima sebagai trainee pada perusahaan ban mobil, Englebert & Co di Aachen, anak perusahaan Amerika Uniroyal pada tahun 1961, lima tahun lamanya ia berkelana di seluruh negeri dari satu penyalur ke penyalur ban mobil lainnya. Selama masa kerja itu, ia mengumpulkan pengalaman mengenai bagaimana reaksi orang. Ia mengatakan, “Mereka harus dapat melakukan sesuatu yang positif untuk saya, yaitu membeli ban dari saya.”
Sejak tahun 1970, Helmut Werner bekerja sebagai manajer aneka produk perusahaanya di kota Luettich, Belgia. Itu merupakan suatu kegiatan, yang menuntut dia sendiri, dia bolak balik di semua fungsi bisnis, baik dari segi teknis maupun segi bisnis, serta segi organisasi maupun segi strategi pemasaran. Semua tugas itu, menurut Helmut adalah suatu yang yang amat menarik, pengalaman langsungnya dengan nasabah/pelanggannya merupakan pendidikan lanjutan bagi Helmut dan di situ pulalah dia dimatangkan untuk menjadi wiraswastawan tangguh. “Saya merekomendasikan tahapan pengalaman yang pragmatis seperti itu bagi setiap pemuda,” katanya mantap.
Pada tahun 1977, perusahaan itu menyerahkan tanggung jawab untuk semua kelompok produksi pada Helmut Werner, dan pada tahun berikutnya dia diangkat menjadi managing director untuk Eropa, khusus menangani masalah pemasaran dan pengembangan. Setahun kemudian (1979) Continental Gummiwerke AG berhasil mengakuisisi (membeli) Uniroyal Eropa, dan dia diangkat menjadi anggota direksi termuda.
Hahn yang menjadi presiden direktur perusahaan Continental Gummiwerke AG dan Baron Englebert sangat dikagumi dan menjadi panutan Helmut Werner atas kreativitas dan kehebatan mereka. Sejak tahun 1982 Helmut Werner orang nomor satu di Continental Gummiwerke AS, dan pada akhir tahun itu juga perusahaan tersebut meraih keuntungan sekitar 18 juta mark atau sekitar 20 miliar rupiah. Pada tahun 1983 perusahaan itu meraih pendapatan sampai 45 miliar rupiah. Begitu pula pada tahun 1984. Selanjutnya, perusahaan itu terus berkembang dan pada tahun 1987 perusahaan itu mencaplok General Tire dan berhasil terjun langsung dalam bisnis di Amerika Serikat. Ketenaran Helmut Werner ini telah sedemikian rupa, sehingga ia menjadi rebutan berbagai perusahaan besar. Bos Volkswagen Carl Hahn menawarkan kepadanya posisi direktur Audi. Sedangkan Alfred Herrhaussen mengajukan penawaran yang lebih menggiurkan, sebagai direktur yang mengepalai divisi kendaraan serba guna dalam jajaran Daimler Benz AG. Dari prestasi Helmut ini diharapkan dapat menolong menyelamatkan divisi itu, yang semula menderita rugi. Bagaimana pun juga, Mercedes-Benz yang mengalami kemunduran dalam pemasaran kendaraan besar di luar negeri masih saja merupakan podusen terbesar di dunia untuk kendaraan angkutan barang.
Helmut Werner bukan hanya memiliki daya pesona dan semangat korps yang tinggi. Selain itu, menurut pimpinan direksi umum, Karl Feuerstein, ia adalah tipe wiraswastawan yang tangguh, yang mempunyai wawasan serta mengetahui dengan tepat di mana menetapkan titik berat upaya. Dalam rapat direksi Daimler Holding, ia dikenal sebagai orang yang kritis dan ampuh pada setiap konflik yang kontruktif.
Di kalangan rekan-rekannya Helmut Werner dikenal sebagai seorang yang ketat sekali dalam manajemen keuangan. Ia melakukan kontrol yang ketat dan terus-menerus memantau arus atas berbagai pengeluaran perusahaan. Pada usia yang sudah memasuki 50 tahun, ia ingin melibatkan dirinya dalam perusahaan dan produk kelas satu serta berkutat pada bisnis internasional. Ia bertanggung jawab atas produksi kendaraan di 43 negara. Dengan demikian pengaruhnya semakin besar disusul dengan kewibawaan yang lebih meyakinkan. Di kalangan direksi ia mempunyai tingkat kebebasan yang tinggi mengingat prestasinya dalam meningkatkan volume penjualan kendaraan Mercedes. Ia menegaskan akan melipatgandakan penjualan sampai tiga kali lipat daripada Continental Gummiwerke AG. Bagi Helmut Werner, Mercedes-Benz AG adalah Pusat permobilan dunia.

Minggu, 20 Februari 2011

KISAH SUKSES ALIM MARKUS


 ALIM MARKUS
PENEMBAK BURUNG GRUP MASPION

Maspion dan Alim Markus adalah dua nama yang tak terpisahkan. Di Jawa Timur, orang mengenal nama Maspion sebagai kelompok usaha besar, yang menjamah berbagai bidang usaha: industri peralatan rumah tanga, elektronik, perbankan, real estate hingga perbisida. Sedangkan Alim Markus dikenal sebagai Presiden Direktur Grup Maspion, yang mampu melambungkan nama Maspion sebagai salah satu kelompok usaha yang paling bersinar di Jawa Timur. 

Perkembangan Grup Maspion yang makin pesat belakangan ini memang tidak lepas dari sentuhan tangan dan kegigihan Alim Markus. Pria berperawakan sedang ini rela mengorbankan pendidikan dan masa kecilnya untuk mulai berkiprah di dunia bisnis. “Saya hanya mengenyam pendidikan sampai kelas dua SMP karena keburu membantu usaha orang tua,” menurut Markus. Ya, pada usia 15 tahun, sebagai anak tertua Alim Markus, lelaki yang kini berusia 44 tahun itu diminta untuk membantu bisnis keluarganya, PT Logam Djawa – produsen peralatan rumah tangga sederhana yang terbuat dari alumunium, seperti panci dan wajan. Mulailah Remaja cilik Markus meninggalkan pendidikan formal di Sekolah, dan memasuki ajang pendidikan yang lebih luas: dunia bisnis. Ia keluar masuk pasar dan toko untuk menjajakan barangnya. Bertemu dengan berbagai macam orang, dengan karakternya yang beragam. 

Dari pergaulan itulah ia menimbah ilmu yang tidak pernah diajarkan di Sekolah. Selain itu, karena merasa pendidikan formalnya kurang, Markus pun mau bersusah payah menambah ilmu di sela-sela kesibukannya menjalankan roda usaha. Ia mengambil berbagai kursus. “Pengetahuan saya dari Sekolah kan sangat minim, mau nggak mau saya harus belajar sendiri,” ujarnya. Maka, ia pun sibuk belajar akuntansi, bahasa Inggris dan Jepang – belakangan ia juga belajar bahasa Korea dan Jerman. Karena perusahaannya masih kecil, Markus pun kemudian menjelajah berbagai aspek dalam pengelolaan usaha. Selain menangani pemasaran dan distribusi, ia pernah menjadi kasir, pemegang buku, dan pekerjaan lainnya. “Karena saya membantu perusahaan sejak kecil sampai besar, maka saya mengalami semua seluk beluk perusahaan,” kata Markus. 

Berkat gemblengan masa lalunya, hingga kini Markus selalu ingin mengetahui bagaimana perkembangan bisnisnya. Jadi, misalnya, ketika berjalan-jalan di pabrik, ia bisa tahu berbagai proses produksi yang dijalani. Ia memang ingin mengetahui segala sesuatunya secara rinci. “Kita harus mengetahui dan menguasai semua bidang pekerjaan,” kata Markus. Tapi, itu tidak berarti dengan mengetahui secara mendalam semuanya lalu Markus mengerjakan sendiri. “Sebagai pimpinan kita harus bisa Mendelegasikan wewenang,” tuturnya. Cuma ia punya sikap yang jelas, Mendelegasikan wewenang adalah suatu keharusan, tapi dia tetap harus tahu secara rinci. “Kan banyak pengusaha yang bersikap, ‘Ngapain saya tahu secara detail, saya serahkan saja kepada orang sudah cukup.’ Nah, yang seperti itu bukan pengusaha betul. Kita boleh mengetahui, tapi jangan dikerjakan sendiri. Kalau dikerjakan sendiri, kapan selesainya dan kapan memimpin orang lain.” Agaknya, keterlibatan total Markus dalam pekerjaannya itulah yang membuat perusahaan keluarga Alim terus berkembang. 

Keinginan Markus untuk maju juga kian menggebu-gebu. Seiring dengan perkembangan usaha, Markus makin rajin menimbah ilmu dari berbagai sumber: mulai dari kursus-kursus (kalau perlu ke luar negeri) hingga berbagai seminar, dan pergaulan dengan kalangan bisnis. Ia pun kerap menyerap gagasan dari berbagai buku yang dibacanya. Kenapa Markus demikian bersemangat menempah diri? “Orang yang tanpa pengetahuan tidak akan menjadi profesional,” kata Markus. Tapi, pengetahuan saja dianggap tidak cukup. Profesional saja masih kurang. Harus ada faktor lain, yakni punya kemauan keras, disiplin, dan ketekunan. “Kalau punya kemauan keras tapi gampang putus asa, itu tidak betul, harus tekun dan langgeng. Kemauan keras tapi tidak disiplin, itu juga salah. Dan yang tak kalah penting kemampuan membawahkan (leadership),” kata Markus, membeberkan kiatnya memimpin Maspion. 

Belajar sambil berbisnis itulah yang menempahnya hingga cepat matang. Tak heran jika dalam usia yang masih cukup muda, 30 tahun, Alim Markus pun tampil sebagai Presdir Grup Maspion, menggantikan posisi ayahnya pada 1980. Ketika itu, nama Logam Djawa tidak lagi “berbunyi”, karena sejak 1971 Markus bersama ayahnya mendirikan PT Maspion Plastic & Metal Manufacturing. Sejak itu nama Maspion berkibar, dikenal sebagai produsen alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik dan alumunium. Di industri plastik, yang dihasilkan Maspion bukan Cuma rantang atau termos dan berbagai macam peralatan rumah tangga lainnya, tapi juga pipa PVC. Bahkan lebih ke hulu lagi, masuk ke produk bijih plastik. Demikian pula di alumunium, yang dihasilkan bukan lagi panci-panci sederhana, tapi dengan bahan yang lebih baik, stainless steel dan peralatan rumah tangga berlapis Teflon, serta aluminium untuk konstruksi. Kini, puluhan perusahaan bernaung di bawah bendera Maspion – kepanjangan nama Mas Pionir. Karyawannya yang tersebar di tiga lokasi pabrik (Maspion Unit I, II dan III) ada 20.000 orang. Untuk memimpin perusahaan sebesar itu, Markus dibantu adik-adiknya: Alim Mulia Sastra, Alim Satria, dan Alim Prakasa. 

Seperti diketahui, Grup Maspion dibagi dalam beberapa divisi. Dan di setiap divisi, Markus berduet dengan salah satu adiknya. Misalnya, di Indal Alumunium Industry, penghasil peralatan rumah tangga dan berbagai jenis produk alimunium lainnya, Markus bersama Prakasa tampil sebagai pemimpin. “Kalau saya tidak ada, misalnya sedang keluar negeri, maka yang menangani perusahaan ya Pak Markus,” kata Prakasa. Saudaranya yang lain hanya sebatas pemegang saham. “Saham yang dimiliki sama besarnya, hanya saya yang lebih tinggi 5% di bandingkan adik-adik saya untuk setiap perusahaan Grup Maspion,” kata Markus. Dengan pembagian wewenang seperti itu, proses pengambilan keputusan bisa cepat. Misalnya, kalau ada usul untuk mengembangkan usaha di Indal, maka yang berbicara cukup Markus dengan Prakasa. Jika keduanya sepakat, rencana pun dijalankan. Jika tidak, maka perbedaan yang muncul di bawa ke rapat setiap Senin. Rapat yang diselenggarakan di kantor pusat Grup Maspion ini – di Jalan Kembang Jepun, Surabaya – juga dihadiri oleh pemegang saham mayoritas (50%) Grup Maspion, Alim Husein. Di situlah keluarga Alim (Alim Husein, Alim Markus, Alim Mulia Sastra, Alim Satria, Alim puspita dan Alim Prakasa) membicarakan berbagai hal penting yang menyangkut perkembangan Maspion. Bagi Prakasa, peran paling penting dari Markus dalam pengembangan bisnis Maspion adalah penataan sistem manajemennya yang dilakukan pada tahun 1980-an. “Pak Markus sangat memperhatikan penataan ini, mulai dari sistemnya hingga pengadaan perangkat komputer pada tahap awal pengembangan perusahaan,” kata Prakasa, yang baru terjun ke bisnis setelah meraih gelar MBA dari Kanada. 

Dalam mengembangkan usaha, Markus sangat selektif memilih mitra bisnis. “Kami selalu memilih mitra bisnis yang terbaik di bidangnya,” kata Markus. Umpamanya, Maspion menggandeng Du Pont (Amerika Serikat) yang memiliki teknologi Teflon – kemudian melebar ke industri agrokimia. Dan bermitra dengan Samsung (Korea Selatan) Maspion masuk ke industri elektronik dan electric home appliance, seperti kipas angin dan Setrika. Contoh lain, Raksasa Marubeni diajak bermitra untuk menghasilkan produk antikarat. Ketika membidik industri melamin, Maspion memilih mitra dari Thailand. “Peralatan makan melamin yang dihasilkan perusahaan Thailand itu paling tinggi mutunya di dunia,” kata Markus. Dengan memilih mitra yang paling menonjol prestasi teknologi atau penguasaan pasarnya, Maspion akhirnya mampu menghasilkan produk dengan kualitas tinggi. Itu sebabnya, pesanan dari mancanegara mengalir ke Maspion. Sebuah jaringan toserba di AS, misalnya, memesan peralatan masak yang khusus dipasarkan di Negara Paman Sam itu – Master Cuisine 9000. 

Maspion kini sudah besar. Dan itu terjadi karena strategi ekspansi yang diterapkan Markus cukup mengena. “Kami menganut falsafah kalau kami menanam padi, hasilnya pun padi. Kalau kami menanamnya banyak, hasilnya juga banyak,” kata Markus. Jelas, bahwa di bawah kepemimpinan Markus, Maspion akan terus melakukan ekspansi, baik yang masih berkaitan dengan bisnis yang kini ditangani, atau sama sekali bidang usaha baru. Jangan tanyakan apa bisnis inti Grup Maspion. Sebab, bagi Markus, “Core business adalah bisnis yang bisa dikuasai.” Jadi, semua usaha yang dimasuki Maspion adalah bisnis inti. “Konsep saya lain. Kalau kami bisa bersaing dengan orang lain, itulah bisnis inti kami. Jadi, tak berarti saya hanya terjun ke satu industri, tanpa mengembangkan yang lain,” tuturnya serius. “Namanya usaha, ya segala bidang kami masuki,” ujarnya lagi. Bagi Markus, pengembangan usaha adalah hal yang perlu terus menerus dilakukan. Ibarat menanam pohon, kalau hanya bisa menanam lima pohon, lima itulah yang dipelihara sehingga manjadi besar. Setelah berbuah, tanam lagi pohon lain agar pohon yang ada di lahan usahanya bisa berkembang terus. “Dan di bidang itu kami harus menjadi market leader,” katanya. Itu dibuktikan dengan penguasaan pasar plastik peralatan rumah tangga nasional sebesar 30%, pipa PVC 40%, dan alumunium sheet 80%. Namun Markus juga sangat menekankan bahwa dalam pengembangan bisnis tidak perlu serakah. Sebab, kalau serakah, bisa diibaratkan, “Kita ingin menanam pohon sebanyak-banyaknya, tapi kewalahan menyirami dan memupuknya, sehingga hasilnya menjadi jelek.” 

Dalam menangkap peluang bisnis. Markus mengumpamakan seperti memburuk burung. Dan sebagai pemburu peluang, senjata utama pengusaha adalah permodalan. “Tanpa modal, kan tidak mungkin menjalankan usaha. Modal ini pun harus diakumulasikan, karena dengan modal kecil, usaha yang bisa dimasuki juga kecil,” kata Markus. Sedangkan kemampuan manajemen diibaratkan sebagai kemahiran menembak. “Kita harus aktif. Peluang usaha adalah burung yang harus dikejar,” ujarnya. Nah, dalam memburu peluang itu, ketepatan waktu juga penting. Sebab, kalau tidak tepat, misalnya membidik terlalu lama, bisa saja tiba-tiba burung tersebut terbang dan kesempatan pun menghilang. “Harus punya keberanian untuk menembak pada saat yang tepat,” kata Markus. 

Dalam bekerja, semangat efisiensi sangat mewarnai gaya kerja dan penampilan Markus. Ruang kerjanya, misalnya, tidak terlalu besar dan transparan dengan dinding dari kaca tebal. Orang yang lalu lalang di depanya akan mengetahui apakah Markus ada di ruangan atau tidak. Apalagi pintu ruang kerjanya selalu terbuka. Semangat keterbukaan? Tidak persis dimaksudkan begitu. Yang diutamakan efisiensi. “You buka pintu saja sudah kehilangan waktu sekian detik. Kan sayang. Biarkan saja pintu terbuka, toh tidak ada nyamuknya,” kata Markus. Ia pun tidak khawatir gerak-geriknya terlihat oleh bawahannya. “Kalau sama karyawan tidak apa-apa. Tamu kan tidak akan nyelonong begitu saja karena sudah sering di bawah. Sekretaris saya pun bisa menghadap orang sembarangan,” kata Markus. 

Kepercayaan Markus pada “filternya” memang tidak belebihan. Begitu masuk ke kantor pusatnya di lantai pertama, orang akan segera berhadapan dengan petugas yang akan menanyakan maksud kedatangan orang itu. Jika diizinkan bertemu dengan bos Maspion, tinggal naik tangga ke lantai dua, dan akan berhadapan dengan empat, ya empat sekretaris Alim Markus. “Sekretaris saya memang empat. Tapi semuanya efisien, bekerja penuh. Coba you lihat kalau masuk ke kantor saya, tidak ada orang yang membaca koran. Semua bekerja,” kata Markus. Tidakkah pekerjaan para sekretaris itu bertabrakan satu sama lain? “Tidak. Pekerjaan kami terbagi dalam beberapa masalah. Apalagi Maspion kan perusahaan besar, ada puluhan perusahaan, sehingga permasalahan pun banyak,” kata Wati, yang mengurus bidang umum. Sedangkan untuk urusan jadwal kegiatan Markus, Catherine yang mengatur. Begitulah, jika di luar kantor, atau sedang melaju di atas mobilnya, Markus tinggal mengecek kepada Catherine, apakah ada orang yang mencarinya. Jika ada, ia tinggal menghubunginya. Atau menanyakan persoalan yang mesti diselesaikan pada sekretaris lain jika menyangkut bidang usaha yang dibawahinya. Soal real estate, misalnya, akan langsung berhubungan dengan Setyowati. 

Markus, efisien menggunakan waktunya. Setiap hari, bangun pukul 5.00, lalu segera meluncur ke lapangan golf. Dari tempat olah raga, ia tidak balik ke rumah. “Saya mandi dan sarapan di tempat golf, dan langsung ke kantor,” kata Markus. Sebelum pukul 08.00 Markus sudah tenggelam dalam urusan kantor hingga sore hari. Karena itu, sepulang kerja, waktunya dicurahkan untuk keluarga. Markus pantang membawa pekerjaan ke rumah. Demikian pula isterinya, Srijanti, sama sekali tidak pernah menjamah atau merecoki pekerjaan suaminya atau urusan kantor. Jadi, setelah pulang dari kantor, di rumah waktu Markus dihabiskan untuk keluarga, dengan sang isteri dan dua anaknya yang masih kecil. Lima anaknya yang lain bersekolah di Singapura. Praktis rumah di atas lahan seluas 1.800 meter persegi luas bangunannya sekitar 250 meter persegi yang ditata apik itu terasa lengang. Dengan 47 pabrik dan 20.000 karyawan, sebenarnya Maspion dan keluarga alim sudah boleh disebut sukses. Toh, Alim Markus masih merasa bisa mengembangkan kelompok usahanya untuk menjadi lebih besar lagi. Di benaknya sudah tergambar “peta” perkembangan yang akan ditempuh dalam 5 – 10 tahun mendatang. “Jika disituasi ekonomi dan politik tetap stabil seperti sekarang, kami bisa terus berkembang dan menampung tenaga kerja sampai 50.000,” ujarnya. Impian yang cukup “berani”. Soalnya, jangankan mengurus karyawan puluhan ribu, mengelola karyawan yang jumlahnya ratusan saja bisa bikin kelenger.- apalagi kalau muncul aksi mogok. Maspion pun pernah merasakan bagaimana kacaunya situasi ketika para pekerja mogok pada tahun 1993 lalu. 

Jika di perusahaan lain tuntutan utama pemogokan biasanya menyangkut penyesuaian upah atau gaji, di Maspion lain, karena tingkat upah di kelompok perusahaan ini memang selalu di atas upah minimal yang ditetapkan Pemerintah. Justru karena upahnya yang sudah lumayan itulah, Maspion terhindar dari pemogokan. Ketika aksi mogok merebak di Surabaya, seorang pejabat di sana menunjuk Maspion sebagai contoh perusahaan besar yang tak pernah dilanda pemogokan, dan meminta pengusaha di Surabaya mencontoh Maspion. Markus ingat persis omongan pejabat itu diucapkan pada bulan Juni 1993. “Eh, tak tahunya pada bulan Juli karyawan Maspion mulai mogok,” kata Markus. 

Yang menyulut pemogokan, menurut Markus, karena persoalan normatif. Para karyawan meminta agar pimpinan pabrik salah satu unit usahanya dipecat. Alasannya, kepala pabrik tersebut terlalu singkat memberi waktu istirahat, Cuma 39 menit, yang dinilai para karyawan tidak cukup untuk dipakai makan siang dan sembahyang. Apalagi jika hari Jum’at, karyawan harus pontang-panting makan dan sholat Jum’at. Telat sedikit, mereka disemprot pimpinan, lengkap dengan ancaman pemecatan. Situasi itulah yang membuat karyawan mangkir kerja. Markus akhirnya mencopot pimpinan pabrik yang sok kuasa itu, dan memutasikannya ke bagian lain. Ternyata kejadian itu diikuti oleh karyawan bagian lain. Mereka merasa mendapat angin mogok dan meminta pimpinan yang tidak disukai dipecat. Sialnya, ketika aksi mogok digelar terjadi kebakaran di tiga pabrik, “Di Maspion unit 1 kan ada 15 pabrik, yang mogok itu empat pabrik,” kata Markus. Permintaan para karyawan untuk memecat atasannya masing-masing di pabrik kedua, ketiga, dan keempat, ditampik Markus. Ia meminta supaya perselisihkan antara karyawan dan pimpinannya diselesaikan secara hukum. “Siapa yang merasa dirugikan, silakan melapor ke Depnaker atau melalui kepolisian dan ke pengadilan,” kata Markus. Kejadian itu memberi hikmat kepada Markus untuk lebih memperhatikan aspek nongaji karyawannya. 

 Markus, kini setiap Sabtu sore 200 – 300 karyawan Maspion Unit 1 diangkut untuk berolahraga; senam atau lari atau pertandingan antarpabrik. “Mereka berolahraga dan kami menghitung waktu olahraga itu sebagai lembur,” kata Markus. Saat berolahraga itulah, kebersamaan karyawan dengan pimpinannya digalang. Energi para karyawan yang masih muda-muda pun tersalur secara positif.

KISAH SUKSES ABDUL LATIEF


 ABDUL LATIEF  ( SUKSES BISNIS DENGAN GAYA YANG TRENDI DAN MODIS  )

Abdul Latief lahir pada tanggal 27 April 1940 di Kampung Baru, Banda Aceh. Anak keenam dari sembilan bersaudara ini, dibesarkan di tanah rencong itu. Dua puluh tahun sebelumnya, ayahnya meninggalkan Tanah Minang, dan menetap di Aceh sebagai pedagang. Ayah dan Ibunya dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah di Aceh. Sayang, ayah Abdul Latief meninggal tatkala ia berumur empat tahun. Dalam suasana pergerakan mempertahankan kemerdekaan dan perjuangan rakyat Aceh itu, Abdul Latief dibesarkan oleh ibunya. Karena dibesarkan dalam zaman-zaman perjuangan dengan suasana politik yang panas, Abdul Latief bercita-cita jadi politikus di kemudiah hari. Namun, ibunya mengarahkan menjadi saudagar yang bersifat nasional seperti ayahnya. Ibu Abdul Latief adalah juga pejuang hidup, pada tahun 1950 ia membawa Abdul Latief bersaudara pindah ke Jakarta, berharap bisa berubah nasib di ibukota. Itulah sebabnya masa Remaja Abdul Latief diwarnai dengan kehidupan Remaja Betawi. Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah lanjutan pertama dan atas di Jakarta. Ia kuliah di APP kemudian mengambil sarjananya pada tahun 1965 di Fakultas Ekonomi Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Selama tahun 1945 dan 1966, situasi politik nasional sedang kacau. Demonstrasi-demonstrasi memenuhi jalan raya. Abdul Latief mengambil peran memasok makanan pada demonstran itu. Situasi belum pulih, tapi Abdul Latief diberi kepercayaan untuk mempelajari manajemen toserba dan supermarket di Seibu Group, Tokyo. Sebalik pulang Sekolah dari Jepang itu, ia lalu melangsungkan pernikahannya dengan Nursiah, gadis tetangga di Jakarta, pada tahun 1967. 

Ada sebagian orang menyebut Abdul Latief, Dirut Alatief Corporation, masih aktif sebagai tokoh muda. Padahal, umur pendiri organisasi Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) itu sudah lebih setengah abad. Setidaknya, ada dua alasan kenapa ia masih dianggap aktivis Pemuda. Pertama, dalam berbagai kegiatannya, Abdul Latief selalu terlihat segar dan sangat bersemangat. Kepeloporan dan idealisme mengangkat pengusaha kecil, terutama yang berkaitan dengan bisnisnya, sering ia lakukan dengan gaya orang muda yang mampu melihat jauh ke depan. Kedua, Abdul Latief yang penampilannya setiap hari selalu trendy dan modis ini, sangat gemar berolahraga. Sehubungan dengan itu, ia juga rajin menjaga kondisi fisiknya, sehingga wajahnya kelihatan jauh lebih muda dibanding usianya. Abdul Latief memang terkenal lihai menjalin kerjasama dengan banyak orang. Ia sangat dipercaya oleh mitra bisnisnya. Bahkan, rekan bisnis di luar negeri pun, mau mengikat kerjasama dengannya, kendati ikatan itu tidak selalu hitam di atas putih. 

Lewat Hipmi, Abdul Latief berhasil mengarahkan sejumlah besar Pemuda untuk menjadi pengusaha. Belakangan, Hipmi menjadi wadah yang amat digandrungi oleh ratusan pengusaha muda Indoesia. Banyak di antara para pengusaha muda itu adalah anak para pejabat dan mantan pejabat. Kesuksesannya mengantar Hipmi sebagai sebuah organisasi profesional, menyebabkan ia selalu terlibat dalam pembicaraan atau diskusi tentang pembinaan generasi muda. Baik dalam acara yang diselenggarakan Hipmi, maupun dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi Pemuda lainnya. Setelah lulus dari Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta, dengan Predikat cumlaude, pada tahun 1963, Abdul Latief mendapat tawaran kerja di Stanvac di Sungai Gerong. Perusahaan asing yang bergerak di bidang eksplorasi minyak itu, akan memberi penghasilan dan karir yang baik baginya. Akan tetapi, gurunya di APP, menganjurkannya bekerja di Pasar Sarinah. Prospek kerja di pasar swalayan milik pemerntah itu, jauh lebih baik di bandingkan di Stanbac. Sebab, Bung Karno sebagai Presiden RI saat itu, sangat memberi perhatian untuk mengembangkan toko serba ada yang pertama di Indonesia itu. 

Anjuran gurunya itu masuk akalnya, lalu ia pun bekerja di Pasar Sarinah. Abdul Latief mendapat tugas di bagian perencanaan. Lewat tugas ini, Abdul Latief berkesempatan berkeliling mengunjungi beberapa negara, terutama untuk mempelajari perkembangan iklim perdagangan di negara-negara itu. Singapur, Jepang, Eropa, Amerika menjadi negara yang dijelajahi pada waktu itu. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai Pimpinan Promosi Penjualan dan Pengembangan Eksport PT. Departemen Store Indonesia Sarinah (Pasar Saringah). Ia menimba banyak pengalaman dan pengetahuan. Ia memiliki relasi bisnis yang cukup luas, baik dalam negeri maupun luar negeri. Delapan tahun ia bekerja di Sarinah. Tantangan demi tantangan telah mampu ia selesaikan dengan baik. Dan, ia ingin mencari tantangan-tantangan yang lebih memberikan masa depan yang lebih baik baginya. Seolah-olah Pasar Swalayan Sarinah tidak lagi memberi prospek yang diinginkannya. Konsep pemasaran yang diambilnya dari Jepang kurang mendapat tanggapan pimpinan Sarinah. Ia pun mengambil keputusan besar, lalu meninggalkan Pasar Sarinah pada tahun 1971. Selama di Sarinah, Abdul Latief termasuk beruntung, karena ia sempat disekolahkan ke luar negeri. Ia belajar manajemen toko serta ada di Jepang selama dua tahun. Pulang dari sana, ia tidak hanya memiliki ilmu mengolah pasar swalayan, tetapi juga membawa mobil dan sejumlah uang saku. Dengan modal itu, ditambah relasi bisnisnya yang sudah sedemikian luas. Apalagi jabatannya sebagai pimpinan promosi Pasar Sarinah, menyebabkan ia banyak teman dan banyak yang mengenalnya. Itulah yang mendorong dia untuk mandiri dan buka usaha sendiri. 

Pada tahun 1971 itu, ia langsung menjadi eksportir barang-barang kerajinan, yang masih dalam skala kecil. Sebagian dari modal yang dimilikinya dipakai untuk membeli tanah luas milik temannya yang sedang butuh duit. Pada tahun yang sama, Abdul Latief juga mulai mencoba meminjam kredit dari bank dengan jaminan tanah di atas. Kredit komersial Rp. 30 juta itu diperolehnya dari BDN. Ia mendirikan PT. Latief Marda Corporation, bergerak dibidang ekspor impor. Ia dibantu adiknya Abdul Muthalib. Tatkala usahanya sudah mulai memperlihatkan perkembangan, ia pun berpikir lebih maju lagi. Kebetulan tanah itu terletak di jalan Jakarta By Pass, sehingga ketika di jual harganya mahal sekali. Hasil penjualan ini yang kemudian menjadi modalnya mendirikan PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya pada tahun 1973. Nama pasar swalayan ini ada kaitannya dengan tempat asal dia bekerja. Nama itu secara historis punya arti tersendiri bagi Abdul Latief. Setahun kemudian, pasar swayalan milik Abdul Latief itu berkembang pesat. Ia mondar mandir Jakarta Singapur. Urusannya bukan hanya soal ekspor-impor, tetapi ia sudah mulai terjun di bisnis properti di negara pulau itu. Tahun 1975 ia membuka cabang pasar swalayannya di kota itu. Di sana ia membeli toko dan gedung, harganya tidak semahal sekarang, karena saat itu Singapura baru mulai membangun negaranya. 

Akumulasi kekayaan yang berhasil dia kumpulkan selama sepuluh tahun berusaha secara mandiri, dia pakai untuk mendirikan Pasaraya di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Gedung Pasar Swalayan yang masuk kategori mentereng ini, dibangun Abdul Latief pada tahun 1981. Disinilah tonggak pertama yang ditancapkan Abdul Latief untuk mengukuhkan dirinya sebagai salah seorang pengusaha pedagang eceran yang patut diperhitungkan. Sebutan konglomerat – sesuatu istilah yang tak disukainya – sudah mulai melekat padanya. Ia selalu duduk semeja dengan para pengusaha kenamaan lainnya. Bahkan dengan pimpinan puncak pasar swalayan asal tempatnya kerja pun, ia sudah terlihat memiliki perbedaan. Lebih dari pada itu, Abdul Latief mendapat tempat yang terhormat di mata pemerintah. Sebab, ia mengangkat harga kehidupan dari sekian banyak pengusaha kecil. Oleh sementara orang ia disebut “Pahlawan pengusaha kerajinan rakyat Indonesia.” Perjalanan usahanya yang baik itu, rupanya tidak selamanya mulus. Pada akhir tahun 1984 Pasaraya Sarinah Jaya kepunyaannya di Blok M terbakar. Inilah percobaan pertama terberat yang dialaminya. Kerugian yang ia derita bukan hanya puluhan miliar, puluhan ribu pengunjungnya setiap hari, terpaksa berhenti sampai bangunan itu diperbaiki kembali. Ia tidak ingin putus kontrak dengan 2000 produsen kecil yang menyuplai keperluannya. Kesulitan ini, ia hadapi dengan tenang, 1200 karyawannya tidak akan diberhentikan, mereka disuruh Abdul Latief belajar manajemen, komputer, accounting, bahasa Inggris. Untuk program belajar ini, Abdul Latief mendatangkan pelatih dan pengajar ahli dari Singapur dan Hongkong. Yang menggembirakan Abdul Latief adalah kesediaan pihak asuransi menanggung sebagian kerugian itu. Bantuan dari rekan-rekannya, juga dari pihak pemerintah maupun swasta, sangat menjadi semangat baru bagi Abdul latief untuk memikirkan yang baik buat ekspansi bisnisnya. 

Secara perlahan kerugian puluhan miliar rupiah itu, sirna sebagai gangguan pikirannya. Abdul Latief menata kembali jalur-jalur bisnisnya yang sudah sempat terputus. Lalu, diatas tempat gedung yang terbakar, telah berdiri dengan megahnya Pasaraya Sarinah. Bangunan berlantai sembilan itu luas lantainya 42.000 meter. Pengunjung pasar swalayan itu, ada sekitar 100.000 orang perhatiannya. 40% diantaranya adalah yang berbelanja. Dari tahun ke tahun penjualan di Pasaraya Sarinah naik terus. Dan terus menerus pula memberikan penambahan modal bagi Abdul Latif. Kawasan Blok M dimana Pasaraya ada, menjadi inceran para pengusaha bisnis eceran. Banyak konglomerat berlomba membangun fasilitas belanja di daerah itu. Kelompok Subsentra dan Pakuwon jati sudah membuka Blok M Plaza. Ometraco Group membangun pertokoan di bawah tanah, persis di bawah bekas terminal Blok M. Itulah sebabnya, ketika ada tanah seluas 1,4 hektar, dekat Blok M ditenderkan Deplu kepada para pengusaha tahun 1990, puluhan yang datang mendaftar, kendati pengumumannya tidak dilakukan secara terbuka. 

Ada sebagian orang menyebut Abdul Latief, Dirut Alatief Corporation, masih aktif sebagai tokoh muda. Padahal, umur pendiri organisasi Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) itu sudah lebih setengah abad. Setidaknya, ada dua alasan kenapa ia masih dianggap aktivis Pemuda. Pertama, dalam berbagai kegiatannya, Abdul Latief selalu terlihat segar dan sangat bersemangat. Kepeloporan dan idealisme mengangkat pengusaha kecil, terutama yang berkaitan dengan bisnisnya, sering ia lakukan dengan gaya orang muda yang mampu melihat jauh ke depan. Kedua, Abdul Latief yang penampilannya setiap hari selalu trendy dan modis ini, sangat gemar berolahraga. Sehubungan dengan itu, ia juga rajin menjada kondisi fisiknya, sehingga wajahnya kelihatan jauh lebih muda dibanding usianya. 

Abdul Latief memang terkenal lihai menjalin kerjasama dengan banyak orang. Ia sangat dipercaya oleh mitra bisnisnya. Bahkan, rekan bisnis di luar negeri pun, mau mengikat kerjasama dengannya, kendati ikatan itu tidak selalu hitam di atas putih. Lewat Hipmi, Abdul Latief berhasil mengarahkan sejumlah besar Pemuda untuk menjadi pengusaha. Belakangan, Hipmi menjadi wadah yang amat digandrungi oleh ratusan pengusaha muda Indonesia. Banyak di antara para pengusaha muda itu adalah anak para pejabat dan mantan pejabat. Kesuksesannya mengantar Hipmi sebagai sebuah organisasi profesional, menyebabkan ia selalu terlibat dalam pembicaraan atau diskusi tentang pembinaan generasi muda. Baik dalam acara yang diselenggarakan Hipmi, maupun dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi Pemuda lainnya. Cepat berpikir, gesit dalam bertindak adalah ciri khas Abdul Latief. Pernah suatu kali, penjualan barang-barang kelontong dalam pasar swalayan kepunyaannya, naiknya seret sekali. Yang datang banyak, yang membeli sedikit. Lalu, Abdul Latief mempelajari kenapa demikian. 

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan dari penganalisaan data yang ada, ia berkesimpulan: daya beli masyarakat masih rendah. Solusinya : daya beli masyarakat harus ditingkatkan. Berarti harus ada tambahan penghasilan bagi masyarakat. Mulai saat itu, ia pun mengajak orang untuk berusaha sehingga pendapatan bertambah. Lalu, Abdul Latif mendirikan Hipmi pada tahun 1972 dan ia menjadi Ketua umum yang pertama. Ia mengarahkan para anggota Hipmi itu untuk segera membuka usaha, sekalipun usaha itu dalam ukuran paling kecil. Dari hasil binaan yang dilakukannya, maka banyak pengusaha kecil memproduksi barang-barang kerajinan tangan, mencari barang atau produk yang bisa dijual dan jadi uang, sehingga pendapatan bertambah. Abdul Latief membantu para pengusaha kecil untuk menitipkan barangnya di pasar swalayan kepunyaannya. Bahkan, Abdul Latief juga membantu para pengusaha kecil itu mengekspor produknya ke luar negeri. Lewat langkah-langkah itu, ekspor nonmigas naik. Devisa nasional bertambah, pertumbuhan ekonomi beranjak naik, tingkat beli masyarakat otomatis jauh lebih baik dibanding sebelumnya. 

Komitmen Abdul Latief membesarkan pengrajin kecil, disamping karena memang dibutuhkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk pasar swalayan, juga untuk memenuhi permintaan Ir. Ginanjar Kartasasmita, menteri muda urusan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri saat itu, untuk meningkatkan produksi nasional. Sampai sekarang Abdul Latief masih tetap konsisten terhadap komitmen itu. Kegiatannya mendorong dan mengembangkan industri kecil itulah, maka ia dipercaya sebagai Ketua kompartemen perdagangan dan koperasi Kadin Indonesia periode 1979-1982. Bagi Abdul Latief, adanya kesenjangan antara pengusaha kecil dan pengusaha kuat, tidak lepas dari adanya perbedaan pengusaha pribumi dan pengusaha non pribumi di masyarakat kita. Pengusaha pribumi sering diartikan sebagai pengusaha lemah dan kecil sehingga perlu dilindungi dan diangkat. Ia melihat perbedaan pengusaha pribumi dan non pribumi sebagai sesuatu persoalan yang serius. Sehingga ia meminta pemerintah untuk menangani persoalan itu dengan cepat agar kesenjangan sosial itu tidak menimbulkan gejolak sosial. Menurut Abdul Latief, pengusaha kecil yang umumnya pengusaha pribumi tidak perlu diangkat dan dilindungi, tetapi didorong dan dikembangkan. Apalagi pada era globalisasi ini, negara-negara 4 macan Asia adalah hampir semuanya non-pribumi. Hal itu dikuatirkan menjadi masalah di kemudian hari, sebab, para pengusaha dari negara yang maju secara ekonomi itu, pasti akan lebih percaya menjalin bisnis dengan pengusaha sesama non pribumi. Sehubungan dengan itu, Abdul Latief melalui makalahnya yang berjudul “Konsep Mendorong dan Mengembangkan Pengusaha Pribumi,” ia mengajukan 4 dasar langkah pemecahan masalah tersebut. Pertama, Political Will pemerintah membantu pengusaha pribumi. Kedua, Konsep yang cocok untuk mengembangkan usaha pribumi yang sejajar dengan non pribumi, bukan konsep Alibaba. Bank pemerintah harus memprioritaskan pemberi kredit kepada pengusaha pribumi. Keempat, semua proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah sepenuhnya diserahkan kepada pengusaha pribumi. Hal itu disampaikan Abdul Latief pada Seminar Pribumi dan Non-Pribumi yang diselenggarakan Editor pada HUT-nya yang ke-4 tahun 1991 yang lalu. 

Kini, Abdul Latief terus melaju dengan Alatief Corporation. Makin banyak mitranya makin banyak perusahaan kecil yang dibimbing dan dimajukannya. Bidang usahanya sudah merebak ke berbagai jenis usaha, tidak lagi hanya pada bisnis retail seperti yang ditekuninya ketika mulai berusaha. Dari puluhan jenis usaha, Pasaraya lah yang menjadi tulang punggung bisnisnya Abdul Latief mengkoordinir pengawasan semua unit usaha itu melalui Alatief Investment Corporation. Gedung Sarinah Pasaraya di Blok M, Jakarta Selatan, adalah salah satu pertokoan yang megah di Ibukota. 

Di gedung berlantai sembilan itu, terlihat segala macam keperluan rumah tangga. Baju-baju yang trendy dan modis, mulai dari yang agak murah sampai yang paling mahal, tersedia di supermarket yang nyaman itu. Ribuan jenis produk kerajinan tagan dari industri kecil / industri rumah tangga sampai produk-produk elektronik, ada di tempat itu. Dari pagi sampai malam, para pramuniaga yang ramah selalu menyapa melayani para pembeli di gedung yang bernilai Rp. 200 miliar itu. Abdul Latief menyesalkan berdirinya beberapa pusat pertokoan modern di Jakarta, yang jelas-jelas mematikan pengusaha kecil dan tradisional. Industri kecil itu sepertinya tidak mendapat tempat untuk hidup, sebab ia memang tidak mempunyai kemampuan bersaing dengan pengusaha modal besar. Gejalanya, memang pengusaha sekelas raksasa masuk ke pasar tradisional. Sehingga pengusaha kecil itu tergusur atau tenggelam. Mestinya pemerintah mencegah para pemodal kuat itu untuk tidak sembarangan masuk ke pasar yang pangsa pasarnya merupakan lahan pengusaha kecil. 
 
Ketika salah satu pasar swalayan terbesar di dunia dari Jepang, yaitu SOGO, membuka cabangnya di Indonesia, Abdul Latief termasuk salah seorang yang bersuara keras menentang kehadirannya. Alasan penolakannya, karena saat itu beredar isu modal asing akan masuk ke bisnis eceran di Indonesia. Ia juga mempertanyakan kenapa Sogo memasukkan 805 produk impor, justru bukan memajukan produk dalam negeri. Padahal, jauh sebelum itu, Abdul Latief memang sudah terikat pada komitmennya untuk memajukan produksi nasional. Menurut pikirannya, pemodal kuat dalam negeri saja sudah mulai mengganggu kehidupan pengusaha kecil, apalagi kalau pengusaha yang datang itu dari luar negeri. Bukankah setiap kali Sogo masuk ke suatu pusat pertokoan, pesaing yang sudah ada biasanya minggir. Tapi ternyata bukan modal asing, dan pangsa pasar Sogo pun juga tidak sama, akhirnya Abdul Latief tidak terlalu keberatan lagi. Memang Abdul Latief mempunyai pertokoan di Blok M, tetapi tidak di pusat pertokoannya. Pasaraya Sarinah menjadi pendukung Pasar Tradisonal Blok M. Konsep yang dikembangkan Pasaraya, menurut Abdul Latief, membeli tanah, membangun gedung, dan membuat kavling pasar baru. Kalau masuk ke pusat pertokoan, memang cepat maju, tetapi itu intervensi namanya, membunuh orang lain, kata Abdul Latief. 

Dampak konsep yang dikembangkan Abdul Latief, pasar swalayannya tidak sekencang kemajuan pasar swalayan bermodal kuat itu. Untuk mengatasi dampak ini, ia melakukan sesuatu secara kreatif, agar orang mau datang dan akhirnya berbelanja mengembangkan produk dagangan model yang menarik. Disain baju misalnya, dilakukan dengan mode dan disain yang paling akhir, persis sama dengan mode yang dikembangkan di negara-negara yang kaya mode seperti Perancis. Ini tidak terlalu sulit bagi Abdul Latief, karena ia sendiri juga penggemar model. Itulah sebabnya, setiap hari, ia selalu tampil dengan busaha yang berdisain menarik. Di segi lain, disamping keramahan pelayanan, bentuk dan disain ruangan pertokoan menjadi faktor yang harus diperhatikan penataannya. Menurut Abdul Latief, perusahan bentuk dan disain ruangan pertokoan, dilakukan terus menerus untuk menghindari kebosanan para pengunjung. Kalau perlu, sekali dalam tiga tahun, dilakukan renovasi-renovasi. 

Melalui penataan pasar swalayan dengan konsep tidak dipusat perbelanjaan tradisional itu, Abdul Latief mengembangkan tiga macam filosofi. Pertama, pengusaha kecil adalah bagian dari kemajuan jenis usaha yang berskala lebih besar. Karena itu, yang kecil memang harus diperhatikan dan diberi tempat yang wajar. Kedua, pengelolaan pasar swalayan harus selangkah lebih maju dari keinginan konsumen. Artinya, yang disediakan di pasar swalayan tidak hanya sekedar yang diinginkan oleh konsumen. Tetapi, apa yang menjadi keinginan konsumen berikutnya. Dalam hal ini perlu antisipasi, sebab situasi terus mengalami perubahan dan perkembangan. Ketiga, lewat berbagai jenis produk dagangan dengan segala inovasinya, dan kreativitas menata produk jualan itu di pertokoan, serta imajinasi mendesain bentuk ruangan yang menarik, akan mencerminkan identitas bangsa. Budaya bangsa terlihat dengan mudah melalui pembuatan dan penjualan produk di pasar swalayan itu. 

Sukses di pasar swalayan, ia membuka pembibitan benur di Bulikumba, Sulsel. Usaha itu menghasilkan 100 juta benur pertahun. Abdul Latief juga membuka tambak udang seluas 120 hektar dengan hasil 4 ton per hektar. Dua sampai tiga kali panen dalam setahun. Ia mengelola beberapa perkebunan, membuka usaha penerbitan buku, dan usaha jasa periklanan, asuransi dan berbagai jenis bisnis yang lain. Sambil melakukan ekspansi bisnis, Abdul Latief juga tertarik pada bidang pendidikan dengan tiga alasan. Pertama, ia memang membutuhkan sejumlah besar tenaga terampil di berbagai bidang. Kedua, ia ingin ikut berusaha meningkatkan kecerdasan warga negara umumnya dan generasi muda khususnya. Ketiga, Abdul Latief adalah pernah menjadi guru, malah menjadi Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan Departemen Perindustrian, tempat ia belajar. Salah satu Sekolah yang ingin ia dirikan adalah Sekolah Politeknik. Pendirian Sekolah itu merupakan salah satu kegiatan dari Yayasan Abdul Latief yang didirikan dan diketuainya sendiri. Dari berbagai aktivitasnya yang begitu padatnya. Abdul latief selalu berusaha menjaga kesehatan fisiknya. Setidaknya, ia melakukan general check up dua kali setahun. Secara rutin ia olahraga joging, senam, renang, teknis, dan kalau ada waktu main golf. Ia selalu olahraga pagi, terutama untuk menghindari ketegangan-ketegangan. Ia ingin hidup dalam kondisi segar, fit, energik. Tubuhnya padat, gesit, perut tidak buncit. 

Itulah Abdul Latief yang mencatat kesuksesan-kesuksesan selama hidupnya. Mulai dari Predikat tamatan cum laude di APP, kemudian menjadi pimpinan promosi Pasar Sarinah, keliling berbagai negara, memberanikan buka usaha sendiri, maju, sukses, lalu gagal, sukses dan berkembang lagi, sampai menjadi pengusaha yang besar seperti sekarang ini. Bagi Abdul Latif, sebenarnya masih ada 25 tahun lagi waktu buatnya untuk berkiprah di dunia bisnis. Namun, ia sudah memasang ancang-ancang untuk memperbesar porsi kegiatan sosial budaya lewat yayasannya. Ia juga telah mempersiapkan generasi keduanya untuk melanjutkan dynasty Alatief Investment Corporationnya. Abdul Latief adalah lambang kesuksesan pedagang berdarah Minang di zaman orde baru. Berasal dari salah satu suku yang sudah terkenal gigih berdagang selama beradab-abad.